D
Hari
ini lumayan dingin. Aku pun berangkat mengenakan jaket putih kesayanganku
bermotif batik mawar merah di daerah bahu sampai dada kiri. Nampaknya matahari
masih enggan menghangatkan tubuh ini. Langit masih gelap padahal jarum
panjang jam dinding berbingkai hijau,
berlis hitam itu telah menunjuk angka lima dan jarum pendek pada angka enam.
Seakan baru beduk. Kurasa mau badai. Namun tak terdengar bunyi sambaran tongkat
Zeus di telinga. Yang terdengar hanyalah kicauan sunyi bayi burung terkapar
jatuh dari sarangnya di pohon mangga itu dekat lapangan voli. Pohon itu sudah
lama tak berbuah. Ku ingat sudah dua tahun lamanya. Terakhir kali adalah saat
aku duduk di kelas sepuluh. Saat wali kelasku masih bapak guru cabul yang
sekarang sudah mendekam di balik jeruji besi yang dingin.. Sekarang mungkin ia
telah membeku di sana bersama tikus-tikus kecil hitam dan kecoa-kecoa sebesar
jempol kaki. “Dia itu Pedophilia!!!”, kerik teman sekelasku berdiri saat surat kabar
tentangnya digelar bak dagangan di depan kelas. Dia adalah seorang guru
olahraga lulusan universitas terkemuka di Bandung. “D” begitulah inisialnya,
aku tak akan menyebutkan merek, temanku yang selalu menjadi bulan-bulanan
pemuas nafsu bejat pria tiga puluh dua tahun itu. Bekas luka robek ini tak terlupakan
Setiap pelajaran olah raga ia
memberikan kami materi singkat, 5 menit paling lama. Setelah itu ia membebaskan
kami bermain bahkan ke kantin atau kembali ke kelas. Saat bermain aku tak
pernah sekalipun melihat gadis muda berinisial “D” itu. “Dia dipanggil bapak ke
ruang guru.” Begitulah jawab teman sebangkunya yang berinisial “F” setiap kali
aku menanyakannya. Dan aku percaya-percaya saja. Saat dua jam pelajaran olah
raga selesai. Kami segera mengganti pakaian. Kamar mandi putra dan putri
bersebelahan dalam sebuah bangunan yang sama. Kamar mandi itu hanya disekat
dengan sebuah dinding beton kuning pucat setinggi dua setengah meter.
Seringkali terjadi perang lempar –lempar air dan gayung bahkan ember antara
kamar mandi putra dan kamar mandi putri. Sudah tidak asing lagi rasanya badan
beserta seragam basah dijemur oleh kepala sekolah yang gemuk berkumis hitam
tebal itu. Namun kami tak pernah kapok,
jawab kami hanyalah tertawa tipis atau sekedar senyum menahan gelak tawa. Ku
rasa lama kelamaan kumis hitam itu akan cepat rontok menghadapi kami. Jadi anak
nakal ramai-ramai itu asik. Dengan teman-teman yang sepaham dan kompak nakal
dalam tanda kutip. Lagi-lagi aku tak pernah melihatnya bersama kami dijemur.
Biasanya “D” kembali ke kelas terakhir. Hampir berbarengan dengan masuknya
bapak guru fisika. Aku duduk di baris pertama dekat dari pintu kelas shaf
pertama. Sedangkan dia duduk di baris ke dua shaf ke tiga. Sering kali saat ku
melirik ke belakang saat bapak guru fisika menulis soal di papan tulis, ia sedang
menggenggam kedua tangannya menekan roknya di daerah selangkangan. Mukanya
mengerut seperti seperti telah berumur. Serasa sakit sekali. Saat bapak guru
bertanya padanya, ia selalu menjawab sakit perut dan permisi ke kamar kecil.
Pernah sekali saat dia duduk di bangku taman sekolah aku menemukan seberkas
darah bekas ia duduk setelah pelajaran olah raga.
Suatu hari, teman karibku yang
selalu menjadi provokator kenakalan masal kami mengajakku untuk melakukan
spionase kepada bapak guru olah raga. Ia ternyata sama sepertiku ia juga curiga
apa yang dilakukan oleh “D” dengan bapak itu. Setelah bapak itu menjelaskan
tentang materi hari itu, ia pun langsung pergi dari antara kami ia pun menuju
ke sebuah rumah kayu tua kosong di belakang sekolah. Rumah itu sudah sangat
rapuh, sudah sekarat. Ku dengar rumah ini setua sekolah kami ini tujuh puluh
sembilan tahun. Rumah itu hanya memiliki dua ruangan, kecil. Dahulu itu
merupakan rumah penjaga sekolah yang sudah ditinggalkan penghuninya karena
telah dibangun bangunan baru yang dibuat di sisi sekolah yang lain. Ya, sekolah
kami adalah sebuah sekolah yang sangat luas. Tak ku lihat “D” bersama dengan
guru itu. “Di mana, D?” seru temanku itu yang berinisial “G” dengan berbisik.
Aku menggeleng-geleng tidak tahu. Kami mengendap-endap dari balik tanaman –
tanaman lebat dan pohon. Bapak guru itu pun membuka pintu rumah kayu itu secara
perlahan bak singa mengincar seekor banteng. “Kreeekkk..”, bunyi pintu kayu tua
itu. Tak nampak ia khawatir atau ragu-ragu berjalan. Layaknya sudah rutin dan
lazim dilakukannya. Sebentar ia melirik ke sekitar dengan wajah serius, ke arah
kami. Kami langsung menunduk, bersembunyi di dalam belukar. Ia menutup pintu
itu. “Kreeekkk”, bunyi pintu kayu itu. Dengan perlahan kami berani melangkahkan
kaki ke arah mendekati rumah itu. Kami pun merungkuk di bagian belakang rumah
bagai kodok siap melompat. Kami siaga.
“Rumah
ini sudah menjadi gudang”, seruku kepada “G”.
“Benar,
banyak kursi – kursi kayu lapuk di sini.”, jawabnya.
“
Bagaimana sekarang?”, tanyaku tegang.
“Kita
harus bisa melihat ke dalam. Kita kan mau ngintip apa yang dilakukan mereka di
dalam?”, tegas ”G” sambil menunjuk ke arah dalam rumah.
Aku
pun memberanikan diriku. Aku menarik nafas terdalam. Aku berkata dalam hati,
“Inilah dia. Jawaban dari kecurigaanmu selama ini. Ayo kita bongkar misteri
ini! Lemah!”. Semangat ingin mengungkap
dan menolong “D” yang selama ini kesakitan memberanikan aku.
Membusungkan dadaku. Kami melihat rumah tua itu.
“Di
sana ada jendela”, seruku berbisik sambil menunjuk ke arah jendela.
“Benar,
kita bisa lihat dari sana”, segera ia
mengendap-endap ke arah jendela. Tangannya menggenggam kusen jendela itu.
Perlahan menonjolkan kepalanya melihat ke dalam.
“Tak
terlihat apa-apa. Tertutup oleh lemari”, seru “G”.
Aku segera melihat
lagi ke rumah itu. Ku tatap ke arah atas.
“Nah,
itu... Itu.... Di atas jendela itu terdapat sebuah lubang.”, aku bersemangat.
“Sshhhsss....
!!!!! Pelan –pelan !!!”, bisik “G” tegas sambil menempelkan telunjuknya di
bibirnya yang tebal.
Kami
perlahan berdiri dari posisi merungkuk kodok kami. Mengambil kursi-kursi tua
yang tersusun rapi di luar rumah. Kami menyusun kursi itu, menumpuknya. Satu
meter tingginya.
“Ini
sudah cukup. Cukup kuat”, bisik “G”.
“Baiklah,
siap?”, tanyaku
“Langsung
saja”, sahutya
Kami
berdua perlahan naik mendaki ke atas. Langkah pertama aman begitu pun langkah
kedua aman. Kakiku gemetar. Nampaknya “G” juga. Kami berdua berkeringat dingin.
“Ngiiettt..”, bunyi kursi kayu tua kami yang kami tinjak. Kami sejenak terdiam.
Menelan seteguk ludah. Menarik nafas dalam, “G” memberi isyarat jari. “1...,
2..., 3..”, saat jari ketiga dikumandangkan. Kami mengambil langkah terakhir.
Akhirnya kami berada di puncak. Sigap kami melihat ke dalam lubang. “Gelap....
Tidak ada apa-apa. Di mana bapak itu?”, seruku dalam hati. Aku melihat ke arah
“G” keringatnya bercucuran dan matanya melotot tajam, seperti mau keluar. Aku
melirik ke arah yang matanya. TERCENGANG!!! Ku lihat dua tubuh polos BERDESAKAN,
KERAS, KASAR, DIA TAK BERDAYA!!! DIA DIIKAT, MENANGIS DERAS!!! Kedua tangan
kakinya diikat. Matanya ditutup. Mulutnya dibekap!!! “WHUUEEEKK...”. “G” lungai
dan melemas, ia pingsan!!! Aku menangkapnya. “Prakk!!!”, kursi kayu itu patah.
“Buuukk, Trak tak tak tak trak!!” Kami berdua terjatuh. Kaki kiriku, betis
kiriku tersangkut di antara kursi kakiku tertusuk serpihan kayu yang patah.
“AKKKHHHH..!!!!”,
aku berteriak kesakitan.
“SIAPA
ITU???!!!”, kerik amarah besar bapak dari dalam rumah.
Jantungku berdetak kencang.
Keringatku keluar deras. Kakiku tersangkut. Ku tarik paksa kakiku.
“Skretttt.. AKKKHHHHH!!!!”, teriakku keras
merintih kesakitan.
Air
mataku mengucur keluar. Darah muncrat keluar. Kayu itu bermandikan darahku. Aku
berdiri mengangkat badanku. Menggangkat “G”. Ku gendong di punggung. Ku berlari.
“WHOOIIII...!!!!! KAUUU........!!!!
“, keriknya sekuat tenaga.
Ku lihat kebelakang. Matanya
tajam dendam. Tangannya, menggenggam sebuah pisau dapur. PISAU!!! Aku berlari
sekencang mungkin ke tengah lapangan. Aku berteriak-berteriak sambil menangis.
Aku tak mau mati. Tidak, TIDAK!!! Ia mengejar bagai harimau mengejar mangsa.
Kami bagai harimau dan rusa. Aku rusa yang terluka sambil menggendong rusa
lainnya. Darahku muncrat-muncrat sejalan-jalan. Tak terasa lagi luka menganga.
Tak berani menatap ke belakang. Aku
berlari ke tengah lapangan voli di mana teman – teman sekelasku bermain. Teman
– temanku terkejut ketakutan melihatku, bertanya binggung. Mereka tercengang
dan berteriak ketakutan, para putri. Bapak guru itu mengejar bagai orang gila
haus darah. Aku tersandung di atas pasir
lapangan voli. Temanku mengerumuniku. Bapak itu menerjang ke dalam kerumunan
teman sekelasku dia mendorong dan menendang siapa saja yang menghalangi
jalannya. Ia menangkapku. Mencekikku di tanah. Dibantingnya aku di pasir panas.
Aku berteriak. Aku tak bisa bernapas. Dia menggangkatku. Dicekik aku. Mataku
mulai berkunang-kunang. Ia menodongkan pisaunya ke leherku. Temanku semuanya
berlari menjauh. Seseorang menarik “G” pergi.
“KHAA... HAHAHAHAHA..... APA
YANG KAU LIHAT, HAH????!!! APA YANG KAU LIHAT???!!! APA YANG KAU LIHAT??!!!!
MAU MATI KAU??!!!! MATIIII... KHAHAHAHA!!??#%$*(@. Ia menyayat telingaku
perlahan. Aku tak bisa bersuara. Air mataku banjir. Matanya keluar. Merah. Ia
setengah telanjang. Ia hanya mengenakan sebuah boxer hijau bermotifkan kartun ”Sponge
Bob”. Ia terlunta-lunta. Seperti orang mabuk. Tak nampak lagi manusia di
wajahnya. Buas. Buas!!! Mati!!! Mati!!!
“RUDI!!!! LEPASKAN”,teriak kepala sekolah tegas penuh
amarah menunjuk padanya.
Seluruh
orang keluar ke lapangan voli. Murid, guru, satpam, penjaga sekolah. Semuanya
berhamburan.
Ia melepas cekikannya. Aku dapat
menarik nafas sekali. Ia langsung mengunciku dengan lengan kanannya dan
menodongkan pisaunya ke kepalaku. Ia melirik ke arah kepala sekolah. Menunduk
terdiam....... Aku mulai kehabisan napas. Kunciannya semakin kuat. Ia mengangkat
kepalanya. Mukanya datar. Perlahan ia tersenyum. Tersenyum psikopat. Ia tak
ragu lagi membunuh.
“KEPALA SEKOLAH, MURIDMU INI
SUDAH KURANG AJAR. . . DIA MENGINTIP. TAK BISA DIMAAFKAN DIA HARUS DIHUKUM.
DIBUNUH???... YA.... YA..... DIBUNUH!!! KHAHAHAHA..”
“HEI KAU ...”, kerik kepala
sekolah.
“MATIIII.. KA... AKKHH”
“BUUKK”
Cekikannya terlepas. Tangannya
masih menggenggam pisau itu aku mengelak. Ia tertusuk sendiri. Pisau dapur itu.
Di bagian perut kiri. Aku tergeletak di pasir panas. Mataku berat. Semuanya
terasa terang. Apa aku sudah mati? Ternyata begini rasanya.. alam baka...
terdengar teman-teman dan guru-guru memanggil namaku. Gelap.
............................................................................................................................................
...........................................................................................................................................
Kepalaku sakit. Aku terbangun.
Mataku serasa masih terpejam. Terang. Perlahan aku membuka mata. Silau. Lampu?
Ruangan putih, aku berada di sebuah ranjang berselimut biru. Ku lihat ibuku
menangis.
“Dia telah sadar. Puji Tuhan.”,
seru kepala sekolah.
“Sekarang kamu berada di rumah
sakit.”, tutur ibu guru matematika
“ Bagaimana pak Rudi?”, tanyaku.
“ Dia masih dirawat intensif
karena luka di perutnya.”, seru ibu guru
“ Bagaimana “G”?”, tanyaku lagi
“Dia sudah sadar”, jawab ibu
guru
“ Bagaimana dengan “.....??”
“Sudah... sudah jangan banyak
tanya. Kamu harus banyak istirahat!”, potong kepala sekolah.
Aku terdiam. Tetapi dalam hati
aku masih bertanya-tanya. “Bagaimana keadaan “D”?”. Dia adalah seorang gadis
cantik berambut hitam panjang yang berprestasi dan berbakat. Dia adalah seorang
pemain biola terbaik di kota ini. Dia sering memenangkan kejuaran bahkan sampai
ke tingkat nasional.
Tak selang beberapa lama. Aku
ingin segera pulang. Aku takut dengan banyaknya mesin-mensin di rumah sakit.
Namun aku tak takut jarum suntik. Lebih takut sama dokter. Luka di betisku
cukup besar. Tiga belas jahitan mengikat lukaku yang menganga. Dan lecet-lecet
di telinga. Keesokan harinya aku masuk ke sekolah. Aku berusaha tak mau mengisi
daftar absenku dengan huruf ‘S’. Berhubung karena kakiku yang luka, aku tidak
menggayuh sepeda. Tapi diantar oleh ayahku dengan mobilnya, Merchedes Benz
Hitam.
Sudah dua tahun berlalu, “G”
tidak pernah menceritakan apa yang dilihatnya kepada siapapun. Terutama teman sekelas.
Begitu pula aku tak pernah menceritakan apa yang aku lihat kepada teman-teman
sekelasku. Saat mereka bertanya tentang apa yang terjadi, aku selalu tersenyum
dan menjawab, “Tidak ada. Bapak Rudi itu saja gila”. Sekarang aku sudah duduk
di kelas dua belas. Gerimis. Tak terasa di tengah rintik kecil hujan dan kicau
anak burung itu jam sudah menunjukkan pukul tujuh kurang seperempat. Kelas
mulai ramai. Semuanya sudah normal sekarang. Terkadang aku berpikir benarkan
guru itu pahlawan tanpa tanda jasa. Mungkin itu sudah tak cocok lagi di masa
modern ini. Guru juga human. Ada yang jahat dan ada yang baik.
“G” sudah datang, ia menyapaku
seperti biasanya dan mulai membuat keramaian di kelas. Aku duduk di kursiku
yang sekarang berada tetap di baris pertama tapi di shaf terakhir. Dekat dengan
jendela. Aku melamun. . . . . .
“Doorrr... Melamun”, seru
seorang perempuan.
Aku
tersentak. Ternyata dia adalah “D”. Sekarang ia sudah kembali. “D” yang riang.
Ia meletakkan tasnya yang berwarna merah jambu beserta dengan tas biola
hitamnya. Sekarang, ia teman sebangkuku. Teman akrabku. Sekarang bisa dibilang
lebih dari sekedar teman.
“Heiii...
Melamun terus.”
Aku
memang sering melamun dan dia sering sekali mengejutkanku. Aku selalu kesal.
Apalagi dia sering mencubitiku, sakit.
“
Hei, impianmu apa?”, tanya “D”
“Hmm,
apa ya? Kalo kamu apa?”, tanyaku balik.
“Hmm,
.....”, dia terdiam sebentar. Menatapku dengan senyum manis, matanya
berbinar-binar.
“Kamu
boleh ketawa, tapi aku mau kamu tahu sesuatu. Aku bukan lebay bukan alay tapi
aku mau kamu menemaniku selamanya”,seru “D”.
Aku
hanya bisa menjawabnya dengan senyum. Aku bingung harus bahagia atau tidak.
Tapi kurasa aku sedang bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar